Perkembangan teknologi sekarang terasa begitu cepat, bahkan kadang sulit diikuti. Hanya dalam beberapa tahun terakhir, kita sudah melihat kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) masuk ke berbagai sisi kehidupan — dari fitur kamera di ponsel, asisten virtual, chatbot, sampai mobil tanpa pengemudi.
Kehadiran AI memang membuat hidup lebih praktis. Tapi di balik semua kemudahan itu, muncul pertanyaan besar: apakah manusia masih dibutuhkan di masa depan? Pertanyaan inilah yang diangkat dalam video “USELESS CLASS: Bahaya dan Peluang AI di Masa Depan”, yang membahas bagaimana teknologi berpotensi menciptakan kelompok manusia yang kehilangan peran — yang disebut “kelas tak berguna” (useless class).
1. Apa Itu “Useless Class”?
Istilah useless class pertama kali dipopulerkan oleh sejarawan dan penulis asal Israel, Yuval Noah Harari, penulis buku terkenal Sapiens dan Homo Deus. Menurut Harari, di masa depan, sebagian manusia akan kehilangan tempat di dunia kerja karena hampir semua pekerjaan bisa dilakukan oleh mesin yang lebih cepat, lebih cerdas, dan tidak pernah lelah.
Berbeda dengan pengangguran biasa, “kelas tak berguna” bukan hanya tidak punya pekerjaan — tapi juga tidak bisa bekerja karena tidak ada lagi pekerjaan yang sesuai kemampuan mereka. Mesin dan algoritma akan mengambil alih pekerjaan yang dulu hanya bisa dilakukan oleh manusia.
Contohnya:
- AI dokter sudah bisa membaca hasil rontgen dan mendiagnosis penyakit dengan akurasi tinggi.
- Mobil otonom mengancam profesi sopir.
- Chatbot dan sistem otomatis mulai menggantikan customer service.
- Aplikasi desain dan penulisan otomatis membuat pekerjaan kreatif jadi lebih efisien.
2. Kenapa Ini Bisa Terjadi?
Perkembangan AI tidak seperti teknologi lain yang hanya menggantikan tenaga fisik. Kali ini, AI mampu mengambil alih kemampuan berpikir — sesuatu yang selama ini menjadi keunggulan manusia.
Di masa revolusi industri, mesin menggantikan otot manusia. Namun sekarang, algoritma bisa belajar, membuat keputusan, bahkan menciptakan sesuatu. Semua ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang sifatnya rutin, analitis, atau administratif sangat rentan tergantikan. Dan sayangnya, sebagian besar pekerjaan manusia termasuk dalam kategori itu.
3. Bahaya di Balik Kemajuan AI
a. Kehilangan Makna dan Tujuan
Bahaya terbesar dari kemajuan AI bukan hanya kehilangan penghasilan, tapi juga kehilangan makna hidup. Manusia secara alami ingin merasa berguna — bekerja, berkontribusi, dan dihargai. Jika pekerjaan diambil alih mesin, banyak orang mungkin merasa tidak dibutuhkan lagi.
b. Ketimpangan Sosial Meningkat
AI juga bisa memperlebar jurang antara yang kaya dan yang miskin. Mereka yang menguasai teknologi dan punya akses ke sumber daya digital akan semakin maju. Sementara yang tidak sempat belajar ulang akan tertinggal jauh.
c. Pendidikan yang Tidak Siap
Sistem pendidikan di banyak negara masih berfokus pada hafalan dan teori. Padahal dunia kerja butuh kemampuan berpikir kritis, beradaptasi, dan berkolaborasi. Jika sistem ini tidak berubah, generasi muda bisa kesulitan bersaing di dunia kerja yang dikuasai teknologi.
4. Tapi Tenang, Tidak Semua Berita Buruk
Kabar baiknya, setiap revolusi teknologi selalu membuka peluang baru. Saat mesin menggantikan pekerjaan di pabrik, muncul pekerjaan baru di bidang servis, desain, dan manajemen. Begitu pula dengan AI — meskipun banyak pekerjaan lama hilang, akan muncul jenis pekerjaan baru yang belum pernah ada sebelumnya.
- AI trainer yang melatih algoritma.
- Data analyst dan data scientist.
- Content creator dan desainer digital.
- Ahli etika AI yang memastikan teknologi digunakan dengan tanggung jawab.
Jadi, bukan berarti manusia akan benar-benar tergantikan. Hanya saja, kita perlu menyesuaikan diri dan belajar keahlian baru yang relevan dengan zaman.
5. Cara Bertahan di Era AI
Agar tidak tergilas arus perubahan, kita perlu mengembangkan kemampuan yang tidak bisa digantikan oleh mesin:
- Belajar Sepanjang Hayat: Dunia berubah cepat, jadi jangan berhenti belajar. Pelajari hal baru dari coding, desain, komunikasi, hingga berpikir kritis.
- Kreativitas dan Inovasi: AI bisa meniru, tapi tidak bisa mencipta ide orisinal dari pengalaman hidup manusia.
- Kemampuan Sosial dan Emosional: Empati, komunikasi, dan kolaborasi tetap jadi kekuatan manusia.
- Adaptasi dan Fleksibilitas: Cobalah hal baru dan jangan takut gagal.
- Manfaatkan Teknologi: Gunakan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai musuh.
6. Peluang Besar untuk Generasi Muda Indonesia
Indonesia punya keuntungan besar: generasi mudanya kreatif dan melek digital. Dengan jumlah penduduk muda yang banyak, kita sebenarnya punya peluang untuk jadi kekuatan besar di era AI — asal mau belajar dan berinovasi.
Beberapa hal yang bisa dilakukan:
- Pelajar dan mahasiswa belajar dasar teknologi seperti coding atau desain digital.
- Pekerja muda ikut pelatihan ulang (reskilling).
- Pengusaha kecil memanfaatkan AI untuk promosi dan layanan pelanggan.
7. Dimensi Moral dan Kemanusiaan
Kemajuan AI menimbulkan pertanyaan moral: jika mesin bisa membuat keputusan sendiri, siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kesalahan? Apakah manusia akan menyerahkan sepenuhnya keputusan penting kepada algoritma?
AI mungkin bisa berpikir logis, tapi tidak bisa menilai mana yang benar atau salah secara moral. Karena itu, manusia tetap dibutuhkan untuk memberikan arah, nilai, dan makna pada teknologi yang diciptakannya.
8. Masa Depan: Bukan Tentang Mengalahkan Mesin, Tapi Bekerja Bersama
Di masa depan, yang berhasil bukanlah mereka yang menolak teknologi, tapi yang mampu bekerja bersama teknologi. AI hanyalah alat — pintar, cepat, dan efisien — tapi tetap bergantung pada manusia untuk diarahkan.
Kita tidak sedang berlomba dengan mesin, melainkan belajar berkolaborasi. AI membantu manusia berpikir lebih cepat, sementara manusia memberikan nilai dan intuisi yang tak bisa diajarkan kepada mesin.
Kesimpulan
Kecerdasan buatan adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membuka peluang luar biasa untuk kemajuan manusia. Di sisi lain, ia bisa menciptakan ketimpangan dan kehilangan makna bagi sebagian orang.
“Kelas tak berguna” bukan ancaman yang pasti, melainkan peringatan agar kita tidak berhenti belajar dan beradaptasi. Manusia yang mau berkembang, berpikir kreatif, dan memanfaatkan teknologi dengan bijak akan tetap relevan.
Teknologi boleh semakin pintar, tapi manusia tetap punya sesuatu yang tak tergantikan: hati, empati, dan makna. Selama kita menjaga itu, tidak ada istilah manusia yang benar-benar “tidak berguna”.